Helena Lim mengabadikan momen vaksinasi dirinya di media sosialnya.
Terdapat beberapa orang yang juga ikut dalam antrian vaksinasi di sebuah
layakan kesehatan di Jakarta Barat.
"Habis vaksin kita bisa ke mana-mana ya. Semoga vaksinnya berhasil, ada vaksin semuanya aman," ucap Helena dalam rekaman video dan tersebar di media sosial miliknya.
"Kita sudah vaksin yang pertama, dua minggu lagi kita vaksin yang kedua," ucap Helena Lim.
Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, Kristi Wathini mengatakan
Helena Lim berserta keluarga termasuk ke dalam kategori orang yang
mendapatkan prioritas vaksin Covid-19. Alasan yang mendasarinya, kata
Kristi, seluruh orang yang terlihat di dalam video membawa surat
keterangan bekerja di apotik.
"Mereka masing-masing membawa surat keterangan bekerja di apotek. Dan
apotek merupakan salah satu sarana kefarmasian yang masuk dalam
prioritas pertama," kata dia saat dihubungi, Senin (8/2/2021).
Juru Bicara Vaksin Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia
Tarmidzi menjelaskan bila memang status penerima vaksin adalah apoteker,
maka termasuk sebagai tenaga kesehatan dan dapat memperoleh vaksinasi
Covid-19.
Namun untuk kasus Helena Lim, dia menyerahkan hal tersebut kepada pihak pemerintah daerah DKI Jakarta.
Dia memandang, mereka yang bekerja di apotek adalah bagian dari
petugas kesehatan atau petugas penunjang. Karena memberikan pelayanan
kesehatan juga.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria juga menuturkan,
pihaknya masih mengecek mengenai vaksinasi Covid-19 yang diterima Helena
Lim.
"Nanti kami cek. Apa penyebab yang bersangkutan bisa masuk," kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (9/2/2021).
Riza mengaku sampai sekarang belum mengetahui masalah tersebut.
Dirinya hanya menegaskan, prioritas dari awal adalah untuk tenaga
kesehatan. Memang, Riza mengakui, ada masalah di pendataan terhadap
vaksinasi Covid-19 ini.
Adapun Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, menduga ada
unsur kesengajaan dalam kasus vaksinasi Helena Lim. Artinya, aparatur
setempat mengetahui bahwa Helena Lim adalah bukan salah satu bagian
prioritas penerima vaksin covid-19. Selain juga cerminan buruknya tata
kelola dalam vaksinasi.
Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat terkait vaksinasi Helena Lim hanya bagian dari alibi pembenaran.
"Seperti orang mencuri baru ketahuan, kan bisa saja dia bilang maaf
saya lagi lapar, kan bisa. Tapi tidak menjadi pembenaran. Jelas ini
fatal," ujar Trubus.
Trubus meminta peristiwa Helena Lim harus diusut hingga ke ranah hukum, karena ada potensi melawan aturan kebijakan negara.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo memandang, di masa
pandemi Covid-19 ini memang vaksinasi menjadi hal yang diinginkan banyak
orang agar terbebas dari penyakit. Sehingga pemerintah menilai mereka
yang paling rentan dengan kategori tertentu yang berhak menerima vaksin
covid-19.
Sehingga dalam kasus Helena Lim ini, menurut Imam, bukan ukuran kaya
atau miskin dalam menentukan layak tidaknya seseorang menerima vaksin
covid-19, tapi apakah yang bersangkutan memang masuk kategori prioritas.
Imam memberi contoh sederhana soal prioritas, terutama dalam kasus Helena Lim ini.
"Misal petugas sopir angkot sama pemilik mana yang harus didahulukan?
Sopir angkotnya, karena pemilik sopir angkot dia tugasnya tidak
terpapar dengan kerumunan yang akan tertular," tutur Imam.
Karena itu, menurut dia, dalam kasus Helena Lim ini perlu
diklarifikasi. Jika memang termasuk tenaga kesehatan atau medis, jangan
membawa urusan kekayaannya.
"Justru itu yang mesti diklarifikasi. Kalau memang dia sebagai tenaga
medis yang terpapar, ya jangan dibawa-bawa kaya miskinnya karena
tugasnya. Itu dokter bayangin itu kaya-kaya juga, tapi kita tidak
persoalkan karena memang dia tugasnya rentan," jelas Imam.
"Tapi kalau misalnya, ada orang yang sebetulnya tidak bertugas
seperti itu tetapi secara formal itu petugas tidak kerja di apotek, ya
itu penyelundup namanya," kata dia.
Dirinya meminta untuk kasus Helena Lim
ini dicek kebenarannya, sehingga vaksinasi Covid-19 ini diberikan
kepada orang yang tepat. Namun, urusan hal ini jangan dibawa ke arah
sentimen antara si kaya dan si miskin.
"Penyelundup itu ada tapi jangan dibawa sentimennya kaya miskin, itu
jangan digiring ke sana. Kita harus mendidik masyarakat. Bahwa dia
keliru, iya orang kaya tapi bukan kayanya dia ini keliru. Misalnya
memanipulasi de facto dengan de jure. De jure dia bisa saja benar, tapi de facto dia tidak pernah lagi tuh praktik sebagai apoteker, misalnya gitu," kata Imam.